Senin, 14 Maret 2011

SOSOK - Alisssa Wahid Ogah Politik Pilih Sosial
Ditulis oleh Helen Simarmata, Brilyantini   
alt
SOSOK - Alisssa Wahid Ogah Politik Pilih Sosial

Lahir dari keluarga politikus tak membuat Alissa Wahid tertarik menggeluti bidang yang sama. Ia tetap terjun ke masyarakat, tapi di “jalurnya” sendiri, yaitu bidang sosial. Bagaimana sosok Alissa sebenarnya? Mengapa ia enggan mengikuti jejak sang ayah, KH. Abdurrahman Wahid? Simak ceritanya pada Brilyantini dan Helen Simarmata.
Saat bertemu Sekar beberapa saat lalu, Alissa Qatrunnada Wahid sedang sibuk mengoor­dinir bantuan untuk korban-korban bencana. Wanita yang akrab disapa Alissa ini memang memiliki kepeduli­an sosial yang sangat tinggi.  Totalitas dalam mengabdikan diri pada masyarakat, membuat ia “tega” memindahkan keempat anaknya dari rumah mereka di Yogyakarta ke Jakarta saat bencana Merapi terjadi. Tidak bertemu keempat buah hatinya adalah salah satu hal terberat yang harus Alissa lalui.

Anda termasuk orang yang sangat sibuk saat Merapi meletus. Apakah karena itu juga Anda memilih memindahkan anak-anak ke Jakarta?
  Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi. Yang pasti, ini demi kebaikan anak-anak juga. Meski rumah kami di Yogyakarta jauh dari lokasi Merapi, getaran dan abunya sangat terasa. Tapi selain itu, dengan tidak adanya anak-anak, saya lebih leluasa bergerak memberikan bantuan ke daerah-daerah bencana. Rumah kami pun dijadikan posko relawan. Tidak mudah bagi saya berjauhan dengan anak-anak, tapi ini demi kebaik­an banyak orang.

Anda punya kepedulian sosial tinggi. Apakah terjun ke dunia sosial memang sudah menjadi pilihan sejak lama?
  Kalau untuk urusan sosial kemasyarakatan, saya memang peduli. Sangat peduli. Ada momen di masa lalu yang sangat berbekas dan menjadi penentu arah hidup saya.

Apa itu?
  Peristiwa itu terjadi saat saya kelas 1 SMA. Waktu pulang dari rumah nenek di daerah Matraman, Jakarta Pusat, ada anak yang minta-minta di lampu merah. Yenny yang dari dulu sudah politis dan kritis langsung protes ke Bapak. “Wah, ini melanggar Undang-undang Dasar. Seharusnya anak terlantar kan dipelihara negara. Kok, begini? Enggak bisa nih. Aku mau tulis surat di koran, ah.” Nah, waktu itu, saya ingat sekali komentar Bapak yang kurang lebih begini isinya: “Kamu masih kecil. Kalau kamu menulis, tidak akan bawa perubahan juga. Yang ada, jalan kamu nanti malah ditutup. Kalau mau bantu orang, lebih baik sekolah yang tinggi, setinggi-tingginya. Nanti pakai ilmunya untuk masyarakat.” Perkataan Bapak itu sangat mengena di hati saya. Sejak itu saya bertekad akan bekerja untuk masyarakat.

Apa yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut?
  Sejak kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, saya sudah aktif di LSM (lembaga swadaya masyarakat). Tahun 1999 saya dan beberapa teman sesama aktivis mendirikan LSM Sapa Persada Indonesia (SPI). Waktu itu belum banyak organisasi serupa. Hanya beberapa. Jadi kalau terjadi masalah nasional, seperti bencana alam di Papua atau di Banggai, Sulawesi Tengah, kami yang ramai-ramai mengoordinir bantuan. Saat itu peran masyarakat sudah ada, tapi tidak terlalu banyak. Belum sebanyak sekarang.

Pengalaman menarik selama ini?
  Wah, banyak sekali, ya. Di satu sisi saya senang karena kepedulian masyarakat semakin besar. Di sisi lain, hal itu juga jadi pikiran karena banyak orang yang sebenarnya belum kenal betul proses evakuasi. Selain itu, saya juga sedih melihat banyak lembaga yang proyekan. Belum lagi perusahaan yang memberikan bantuan semata-mata karena bagian dari program CSR (corporate social responsibilities). Saya kecewa, sangat kecewa. Akhirnya saya minta SPI berhenti dulu untuk me­ninjau ulang strategi kita sebagai lembaga kemanusiaan. Memikirkan lagi apakah yang dilakukan benar-benar sudah demi kepentingan pengungsi? Tapi yah, namanya lembaga sosial, kalau sudah vakum, suka keterusan. Jadinya sampai sekarang berhenti. Meski begitu, kalau ada bencana, teman-teman tetap bergerak cepat. Tanpa bendera sama sekali. Spontanitas saja.

Apa yang menjadi fokus utama Anda saat bencana?
  Yang pasti anak-anak. Mereka sering terlupakan dan sangat rentan terhadap dampak pengungsian. Karena itu saya juga mengadakan training pendampingan anak. Untuk pengumuman atau pencarian tenaga, biasanya saya memanfaatkan jejaring sosial Twitter.

Selain bidang sosial, apakah Anda tidak tertarik pada dunia politik seperti adik Anda, Yenny Wahid?
  Terjun ke dunia politik? Wah, enggak deh.

Lho, kenapa?
  Terus terang, meski hidup di tengah keluarga politisi, saya pribadi tidak memiliki minat sama sekali di bidang itu. Saya siap meneruskan pemikiran-pemikiran Bapak yang memang menurut saya benar dan perlu disebarkan. Tapi tidak terjun ke dunia politik aktif.

Akhir bulan ini Alissa dan keluarga akan mengadakan peringatan setahun wafatnya sang ayah, KH. Abdurrahman Wahid. Menyambut hari besar itu, banyak rencana yang ingin ia dan keluarga wujudkan.

Apakah ada acara khusus untuk memperingati setahun meninggalnya Gus Dur?
  Ya, saat ini memang keluarga sedang menyiapkan beberapa acara. Jauh sebelumnya, tepatnya sejak Bapak meninggal, kami mengadakan rembuk­an. Rembukan nasional-lah istilahnya. Kami membahas bagaimana cara untuk melanjutkan pemikiran Bapak.

Hasil rembukan itu?
  Kami menyadari bahwa anak biolo­gis Gus Dur memang empat orang. Tapi anak ideologisnya banyak sekali. Banyak orang terinspirasi pemikiran Bapak. Untuk itu, kami mengumpulkan teman-teman yang mengagumi pemikiran Bapak dan membantu mereka agar siap menjadi agent of change atau agen perubah­an yang akan meneruskan pemikiran Bapak. Ini seperti menjahit selendang perca.

Maksudnya selendang perca?
  Ya, itulah istilah yang kami gunakan di Ciganjur. Yang dimaksud dengan perca di sini adalah komunitas-komunitas pencinta Gus Dur atau orang-orang yang mau meneruskan pemi­kiran Gus Dur. Mereka akan tetap dibiarkan dengan warna dan kiprah­nya masing-masing yang kemudian akan kami satukan agar jadi selendang indah dan besar. Ini bukan pekerjaan mudah. Butuh tenaga dan usaha yang luar biasa, baik dalam mencari waktu untuk bertemu, maupun saat berdiskusi. Bagaimana pun masing-masing pihak punya pikiran berbeda.

Anda melakukan ini bersama adik-adik?
  Ya, kami semua. Namun, karena saat Bapak meninggal, Yenny dan Anita sama-sama lagi hamil, yang bisa lari ke sana ke mari saya dan si bungsu Ina. Kami berdua yang lebih banyak bertemu dengan para Gusdurian ini.

Bagaimana respons suami terhadap kesibukan Anda, terutama di bidang sosial kemasyarakatan?
  Dia sangat mendukung. Dulu suami komandannya LSM SPI. Karena sesama aktivis, dia sangat mengerti setiap langkah saya.

Wah,  Anda berdua kompak sekali, ya?
  Alhamdulillah. Tapi ini setelah melewati proses panjang, lho. Tidak mudah menemukan keselarasan.

Ceritakan dong kisah pertemuan Anda dengan suami.
  Kami bertemu pertama kali tahun 1991. Setelah enam tahun pacaran, tepatnya di tahun 1997, dia melamar. Tadinya kami berencana menikah tahun 1998, tapi karena Bapak terkena stroke, akhirnya rencana itu diundur ke tahun 1999. Meski lama pacaran, di awal pernikahan kami sering bentrok. Kami berdua memang sangat berbeda. Tapi justru perbedaan itu yang menyeimbangkan.

Apakah ada konsep rumah tangga yang Anda contoh dari orang tua?
  Kesetaraan! Ayah dan ibu saya adalah orang yang sama-sama kuat dan punya passion sendiri. Tapi Bapak bukan penganut patriarkat. Tidak pernah dia mengharuskan Ibu begini begitu hanya karena statusnya sebagai istri.

Bagaimana pola didik Anda ke anak-anak?
  Saya juga selalu menanamkan nilai kesetaraan. Selain itu, saya juga membiasakan mereka menghadapi dan menerima perbedaan.

Sampai saat ini Alissa mantap berdomisili di Yogyakarta. Dia sangat menikmati setiap lekuk kota itu dengan segala ketenangannya. Alissa mengaku belum tertarik sama sekali pindah ke Jakarta.

Apa saja aktivitas Anda sehari-hari?
  Saya banyak menghabiskan waktu untuk keluarga dan kegiatan sosial. Selain itu, saya juga menjalankan perusahaan keluarga yang bergerak di bidang perumahan. Saya juga mengelola sekolah, yaitu Fastrack Funschool (playgroup dan TK). Dari dulu saya merasa tidak cocok bekerja kantoran.  Gimana mau kerja kantoran kalau otaknya baru bisa jalan di malam hari? (tertawa).

Bagaimana hubungan Anda dengan adik-adik?
  Seru! Alhamdulillah. Buat kami, keluarga adalah prioritas utama. Kami saling menghargai. Saya tidak selalu setuju dengan apa yang dilakukan Yenny, tapi saya tetap menghormati apapun keputusannya. Begitu juga dia. Di Ciganjur, saya bertanggung jawab atas urusan “dapur”. Intinya, saya meng­urus masalah keuangan dan manajemen. Bagaimana cara menjalankan bisnis keluarga atau memilih investasi ada di tangan saya. Adik-adik boleh saja memberi masukan, tapi tetap saya yang mengambil keputusan dan mereka akan menghargai itu.

Sering curhat-curhatan?
  Sering banget. Kadang Yenny minta ketemu sama saya, Anita dan Ina untuk curhat soal politik, nasib PKB Gus Dur, dan lain-lain. Yenny tahu kami tidak akan terlibat, tapi dia tetap butuh ngobrol dengan kami, orang-orang yang dipercaya dan tidak punya kepentingan di situ.

Pernah berantem juga?
  Pastinya! (tertawa) Kalau ngobrol soal politik, saya dan Yenni bisa berantem sampai nangis-nangisan. Ada saatnya saya benar-benar tidak bisa memahami pikiran dia. Tapi perbedaan pendapat itu sama sekali tidak mengganggu hubungan persaudaraan. Kedudukan kami juga bisa dibilang setara. Tidak ada yang namanya si Sulung atau si Bungsu. Semua ditanggung bersama.

Terakhir, apa harapan Anda?
  Banyak sekali. Dalam hal pribadi, saya berharap anak-anak bisa tumbuh dengan baik dan keluarga juga selalu kompak. Selain itu, saya sangat mengharapkan jaringan Gusdurian bisa terbentuk, menyatu dan mampu membawa kebaikan bagi seluruh bangsa Indonesia tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar