Kamis, 17 Maret 2011

Wanita dan Perubahan Sosial

Hari Minggu ada Festival Indonesia di Nagoya. Acara tahunan tersebut tak dapat saya ikuti karena saya sudah dimintai tolong menjadi pembicara 4 bulan sebelumnya oleh Pan-Pacific South East Asia Women Association in Japan, chapter Aichi. Asosiasi ini akan mengadakan Konferensi Internasional di Bali tahun 2010, dan sebagai warming up mereka ingin mendengar lecture tentang wanita di Indonesia.
Saya menolak tawaran ini saat pertama kali diajukan oleh salah seorang komitenya, pertama karena saya sedang tegang-tegangnya menulis disertasi dan kedua karena ini bukan bidang saya, yaitu membahas wanita, gender, pendidikan dan perbahan sosial di Indonesia. Sangat berat bagi saya ! Sebenarnya seorang peneliti tentang pendidikan putri di Indonesia, Prof Mina Hattori sebelumnya telah diminta untuk menjadi pembicara, tetapi berhubung beliau hendak pergi ke Inggris dalam masa itu, sehingga dibatalkan.
Sekitar seminggu sebelum acara, saya bertemu dengan 3 orang pengurus utama di sebuah coffee shop di dekat kampus, dan dari situ saya sedikit mendapat gambaran materi seperti apa yang mereka inginkan. Sambil minum kopi, saya diberondong dengan sejumlah pertanyaan tentang suku-suku di Indonesia, tentang kesempatan bersekolah tinggi yang saya dapatkan, dan banyak hal lainnya, yang kesimpulannya mereka puas dan benar-benar berharap saya bisa menyampaikan lecture di hadapan anggota.
Jadi saya prei menulis paper, dan mulai merangkai materi presentasi di sela-sela jam kerja Jumat dan Sabtu. Setelah menggoogle data-data yang terkait dengan pendidikan wanita Indonesia, pekerjaan dan beberapa tulisan tentang peranan wanita di setiap suku, lalu merangkainya menjadi sebuah slide presentasi, menerjemahkan semua data dan konsep ke dalam Bahasa Jepang, membacanya ulang, saya berdecak kagum: INDONESIA (APALAGI WANITANYA) MEMANG HEBAT !!  (narsis mode :D   )
Hadir pada acara hari itu, semua pengurus di Aichi, para anggota dan ketua pusat yang menyempatkan hadir dari Tokyo. Sekitar 30 orang. Acara dimulai dengan menyantap makan siang yang sungguh cantik dan lezat. Semuanya serba ikan, barangkali demi menghargai saya yang tidak bisa makan daging (foto makanan akan saya upload di photoblog). Sayangnya saya tidak begitu menikmatinya sebab selama makan saya disibukkan menjawab pertanyaan.
Slide presentasi saya berisikan informasi global tentang Indonesia, sebagai negara yang sangat heterogen. Kebanyakan berupa foto image yang dengannya saya coba menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia menempatkan wanita. Sebuah foto jamaah sholat saya tunjukkan dan jelaskan bahwa wanita di dalam Islam selalu berada di belakang laki-laki dalam hal kepemimpinan. Tapi bukan berarti wanita kalah dalam kepandaian. Sebagai istri, dia diwajibkan patuh kepada suaminya yang menafkahinya dan tentu saja jika suaminya adalah juga patuh kepada TuhannNya. Sebagai anak dia diwajibkan patuh kepada ayahnya yang membuatnya gembira selalu dengan aneka barang dan kesenangan. Tetapi sekalipun selalu di belakang laki-laki, wanita tidak pernah direndahkan karena sebuah kalimat sakti : SURGA ITU ADA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU. Jadi, kami kaum wanita di dalam Islam tidak pernah merasa dilecehkan dengan selalu berdiri di belakang laki-laki pada saat beribadah.
Di dalam kebanyakan suku di Indonesia, wanita bertanggung jawab penuh terhadap pengasuhan anak. Di kalangan masyarakat kelas bawah, wanita bahkan bekerja di lahan-lahan pertanian, menjadi buruh bersama-sama dengan laki-laki dan karenanya anak-anak mereka diasuh oleh anak perempuan tertua, sanak famili atau tetangga. Sikap gotong royong semacam ini sudah lazim di pedesaan. Saya tidak mengalaminya memang, tetapi saya menyaksikan sebagian besar keluarga saya di desa melakukan hal ini.
Wanita-wanita di kalangan menengah dan atas dahulu umumnya tidak bekerja dan mereka lebih banyak menggunakan waktu dalam pengasuhan anak. Wanita-wanita di kalangan ini yang pada akhirnya berkesempatan mendapatkan pendidikan yang kemudian membawanya kepada posisi atau pekerjaan bergengsi di masa sekarang. Yang menarik adalah proses pengasuhan anak di kalangan masyarakat menengah dan atas beralih dari pengasuhan sendiri kepada pengasuhan pembantu, baby sitter atau sanak famili. Sekarang bahkan banyak dibuat lembaga penitipan anak di kota-kota besar. Fenomena ini sama dengan masyarakat Jepang saat ini.
Saya ditanya oleh seorang Ibu tentang pembantu. Beberapa puluh tahun yang lalu, familinya pernah tinggal di Indonesia dengan 5 orang pembantu. Dia menanyakan apakah kebiasaan ini masih ada, sebab di dalam keluarga Jepang, pembantu bukanlah hal yang lazim. Saya jawab, ya. Permasalahannya bukan karena merendahkan status manusia, apalagi wanita, tetapi sumber pekerjaan yang kurang, menyebabkan beberapa memilih pekerjaan sebagai pembantu. Bahkan negara kami adalah pengekspor pembantu (Saya cukup miris mengucapkan ini dan terbayang kepada kaum ibu yang tengah berjuang di rumah-rumah orang kaya di tanah Arab).
Masalah pengambilan keputusan dalam keluarga juga saya jelaskan mengalami perubahan yang cukup signifikan sejalan dengan perubahan sosial dan tingginya kesempatan mengenyam pendidikan. Dahulu, bapak/ayah adalah decision maker dalam keluarga, ibu mendukung dan anak-anak harus patuh. Sekarang terjadi pergeseran, sebab kaum Ibu yang terdidik mulai ikut bersuara, dan dalam periode tertentu, ayah hanya mendukung. Seperti halnya dalam keluarga dengan ayah yang sudah pensiun, keputusan biasanya didominasi oleh anak tertua atau anak yang paling tinggi tingkatan pendidikannya.
Sekalipun wanita di Indonesia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, pada kenyataannya jumlah wanita yang menamatkan kuliah S1, S2 dan S3 di perkotaan hanya 2.89% dan di pedesaan hanya 0.43%. Sekitar 23% wanita di perkotaan tidak memiliki ijazah dan 40% di pedesaan. Sebagian besar wanita di perkotaan, 27% hanya mempunyai ijazah SD, 19% mempunyai ijazah SMP, dan 19% mempunyai ijazah SMA, sebaliknya 37% wanita di desa mempunyai ijazah SD, 14% SMP, dan hanya 5% yang memiliki ijazah SMA. Kondisi pendidikan di pedesaan tak sebaik di kota. Dan dengan beratnya beban biaya masuk ke universitas saat ini, hanya keluarga kaya atau yang beruntung mendapatkan beasiswa yang bisa memasuki jenjang itu. Kesempatan mengenyam pendidikan tinggi bagi wanita di Indonesia lama kelamaan menjadi sesuatu yang langka.
Dari segi pekerjaan di level kenegaraan, setiap tahun hanya sekitar 62 orang anggota Dewan adalah wanita atau sekitar 12% dari total anggota (550 orang). Jika dibandingkan dengan populasi penduduk laki-laki (109 juta) yang hampir sama jumlahnya dengan populasi perempuan (108 juta), maka angka 62 adalah sangat kecil. Pada tahun 2006, sekitar 84.74% laki-laki bekerja dan 48.63% wanita bekerja. 36% lebih wanita bekerja pada pekerjaan yang tak dibayar, dan sekitar 28% bekerja sebagai buruh dan pegawai kantor, 26% bekerja sebagai wiraswasta dengan staf anggota keluarga atau seorang atau dua orang pekerja tak tetap.
Dalam jabatan struktural, hanya 63 orang wanita memiliki jabatan eselon I, 755 orang eselon II, 7,444 orang eselon III, 47,348 orang eselon IV, dan 3,095 orang eselon V. Sekitar 972,953 wanita memegang jabatan fungsional tertentu, dan sekitar 500 ribu orang memegang jabatan fungsional umum.
Saya mengakhiri presentasi saya dengan menegaskan bahwa jika dibandingkan 20-30 tahun yang lalu, wanita di negara kami sudah sangat pesat mengalami perbaikan status dan kesempatan untuk dididik. Tetapi perubahan sosial yang juga pesat terjadi sebenarnya tidak cukup banyak mengubah pandangan tentang wanita dan penghargaannya dalam masyarakat Indonesia. Wanita tetap menjadi penanggung jawab pengasuhan anak dan kami tidak menentang ini sebab ini adalah kodrat, tetapi dukungan keluarga besar di dalam masyarakat Indonesia menyebabkan pengasuhan anak seakan menjadi tanggung jawab bersama.
Satu jam lebih menjelaskan tentang wanita di Indonesia ternyata tidak membuat peserta puas, sekitar setengah jam saya ditanya bermacam-macam hal seputar pengiriman perawat Indonesia ke Jepang, pandangan saya tentang masyarakat Jepang, tentang pendidikan bahasa yang pernah saya dalami di sekolah, tentang pendidikan moral dan agama di sekolah dan banyak hal yang membuat saya tak sempat menikmati kue lezat yang disajikan saat acara tea break :(
Seminar yang berlangsung di sebuah hotel mewah di Nagoya, dan dihadiri para istri-istri orang besar di Aichi membuat saya cukup keder. Saya mengalami culture shock sesaat memasuki ruang pertemuan dan berbicara dengan mereka. Saya yang kadang-kadang berteriak dan tertawa lepas di lab, kali ini harus berbicara pelan, lambat, tertawa pelan, tersenyum, dan bolak-balik membungkuk, menggunakan bahasa halus, mengikuti kebiasaan wanita-wanita kelas atas Jepang :(
Catatan :
Sumber data : SUPAS BPS, Ikhtisar Pendidikan Depdiknas 2005/2006, situs Kementrian Pendayagunaan perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar