Hunting Kerudung hingga ke Luar Negeri
Berkembangnya mode membuat banyak
perempuan melakukan eksperimen terhadap dirinya. Termasuk pada kerudung
penutup aurat. Hijabers Surabaya adalah sebuah komunitas pemakai
kerudung modern. Meski baru terbentuk tiga bulan lalu, lebih dari
seratus perempuan sudah bergabung.
Antania Febriana menggeser kursi miliknya mendekati meja
instruktur. Perempuan 22 tahun itu berpindah posisi dari kursi paling
belakang mendekat pada Alvia Enawani Nataprawira, pendiri Hijabers
Surabaya. Sore itu para anggota Hijabers Surabaya sedang berkumpul
untuk mengadakan kelas khusus. Sebuah diskusi yang membahas cara
mengenakan berbagai model kerudung. Bahkan, diskusi merambah
permasalahan perempuan lainnya.
Kelas khusus tersebut memang tidak diselenggarakan rutin, namun
lebih disesuaikan dengan kebutuhan mayoritas anggota. Kapan pun anggota
ingin belajar dan berbagi informasi tentang model terbaru, pertemuan
itu bisa langsung diselenggarakan. "Disesuakian dengan hari dan jam
anggotanya. Agar pertemuan tidak mubazir, jadi kami upayakan agar semua
anggota ikut serta", tambah Alvia.
Sebagai instruktur hijab, Alvia mengaku tidak pernah kehabisan ide.
Semua ide itu muncul dari kreativitas berdasar ilmu mode yang pernah
dia pelajari di salah satu pusat pendidikan milik artis ternama.
Kata Alvia,
mengenakan
jilbab yang baik dan menarik perlu disesuaikan dengan beberapa kondisi.
Seperti warna pakaian, usia, bentuk muka, dan tempat acara yang
dikunjungi. Semua hal itu, menurut Alvia, memengaruhi model kerudung yang dikreasikan. "
Kuncinya ada pada percaya diri dan jilbab yang kita kenakan telah menutup seluruh aurat", tuturnya.
Alvia berkisah, seni mengenakan jilbab tersebut dirinya dapatkan
dari kursus mode di Jakarta beberapa tahun silam. Setelah menjalani
kursus selama tiga bulan, Alvia langsung mengubah penampilan. Terutama
dalam memodifikasi aneka kerudung. "Saya awalnya tidak memakai jilbabm
jadi
kepingin berjilbab.
Itu karena melihat keutamaan dan keindahan jilbab itu loh", ungkap ibu dua anak tersebut.
Rupanya komunitas itu tak hanya belajar mengenakan hijab yang
benar, namun juga yang tetap menarik. Kegiatan Hijabers lainnya adalah
pengajian antar anggota. Jadwal pengajian pun disesuaikan dengan
kesibukan anggota. Namun, jadwal pengajian ditetapkan minimal satu
bulan sekali, sebagai sarana silaturahmi antaranggota.
Alvia menjelaskan, masih ada fasilitas lain yang didapatkan anggota
selain bertemu dengan sesama Hijabers Surabaya. Yakni, berbagi ilmu
melalui dunia maya. Pengurus komunitas yang berdiri pada awal Mei 2011
itu berusaha menggelar konsultasi gratis seputar kerudung dan
perempuan. Bisa melalui telepon, SMS,
website, dan jejaring sosial seperti
Facebook (FB) dan
Twitter.
Nah, Tania kebagian tugas mengelola konsultasi tersebut. Dia
anggota sekaligus putri pertama Alvia. Mahasiswi Fakultas Ekonomi
Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya itu akhirnya turut terjun
dalam anggota Hijabers Surabaya. "Saya melihat penampilan mama
berjilbab kelihatan awet muda dan
nggak kuno. Saya jadi
kepingin dan memang merasa siap untuk berjilbab", ungkapnya.
Mesti belum setahun mengenakan kerudung, Tania tekum mempelajari
segala sesuatu tentang jilbab dan permasalahan perempuan lainnya.
"Konsultasi yang masuk selalu saya konsultasikan dengan mama",
tegasnya.
Karena tugasnya harus berhubungan setiap hari dengan dunia maya,
Tania berbagi tugas dengan Anastasia Regina. Keduanya menjawab segala
bentuk konsultasi. Juga meng-
update situs Hijabers Surabaya yang beralamat di
www.hijabers-surabaya.blogspot.com.
Tania dan Tasya pun rela menjawab telepon kapan saja dan dimana
saja mereka berada. Untung, telepon tersebut selalu berdering pada saat
yang tepat. "Alhamdulillah, belum ada yang minta konsultasi sampai
ngganggu jadwal kuliah", katanya.
Meski dering telepon tak sering terdengar, konsultasi via
FB, Twitter,
dan SMS setiap hari berjumlah puluhan. Pertanyaan seputar jenis kain
kerudung yang nyaman serta model terbaru. Serta meningkatkan
kepercayaan diri saat berjilbab dan cara mengenakannya dalam acara
tertentu.
Semakin banyaknya konsultasi membuat Tania, Tasya, dan Alvia
hunting
(berburu) jilbab keliling Surabaya. Mulai pasar tradisional hingga mal
menjadi sasaran pencarian jilbab. "Beli satu jilbab, pakainya
ramai-ramai. Karena kami lebih sering meminjam. Jilbab punya mama, jadi
punya kami semua", terang Tania.
Kata Tania, tidak ada jilbab yang mereka kenakan bernilai lebih
dari Rp 300 ribu. Di tangan mereka, jilbab sederhana dapat diubah
menjadi lebih menarik dan modern saat digunakan. "
Tidak perlu jilbab yang mahal. Jangan minder kalau tidak punya jenis jilbab yang banyak.
Asalkan pintar memodifikasi, sepuluh jilbab saja bisa dibuat beragam
model", tambah perempuan kelahiran Jakarta, 14 Februari 1989 itu.
Pengalaman bergabung dengan Hijabers Surabaya membuat Rosmana
Yuliana, anggota lain, makin percaya diri. Meski keputusan mengenakan
kerudung sempat ditolak mertua, dirinya tetap mengenakan. "Alasannya,
dianggap menghambat karir. Justru saya ingin buktikan bahwa karir saya
berkembang dengan mengenakan jilbab", papar ibu tiga anak itu.
Benar saja, sejak berjilbab dan kemudian bergabung dengan komunitas
Hijabers Surabaya, perempuan yang berkarir di bidang ekspor impor
tersebut justru sering mendapat pujian. "Hampir semua rekan kerja
memuji, saya terlihat lebih menarik", katanya.
Pujian itu akhirnya terlontar juga dari mertua, anak, dan suaminya.
Bahkan, seorang klien dari Texas, Amerika Serikat, melamarnya. Karena
tidak menyangka bahwa orang berkerudung bisa mengepakkan sayapnya di
dunia bisnis internasional. "Akhirnya saya jelaskan, saya sudah punya
anak dan suami. Dia kaget, lalu meminta maaf", lanjut Rosma lantas
tersenyum.
Pengalam itulah yang membuat dirinya lebih
sreg
untuk mengenakan jilbab dan hijab sekaligus. Pakaian panjang dengan
jilbab tertutup membuatnya nyaman saat bekerja. "Menjauhkan hal-hal
yang mencelakakan kita", tutus istru Chusaeri itu.
Kegemarannya memodifikasi jilbab tersebut akhirnya ditularkan pula
kepada putri pertamanya, Kevin Aurelia Yasmin A. Siswa kelas V SD
At-Taqwa itu menjadi salah satu objek eksperimennya. "Kadang saya
dengan Kevin sama-sama memodifikasi jilbab sebelum pergi. Karena sibuk
dengan jilbab masing-masing, jam berdandan jadi lebih panjang", ucap
Rosma.
Cerita lain diungkapkan anggota Hijabers lainnya, Eka Yustika. Perempuan 34 tahun itu rela
hunting
kain penutup aurat hingga ke Singapura dan Malaysia. Eka mengaku sering
berpergian ke dua negara tersebut untuk urusan bisnis. "Sekalian saya
cari jenis kain yang bagus di sana", katanya.
Meski jumlah jilbab yang dimilikinya tidak sampai ratusan helai,
Eka mengaku lebih banyak belajar memodifikasi model jilbab. Dia juga
mengatakan punya lebih banyak ilmu padu padan gaya pakaian dan jilbab
untuk keperluan bekerja. "Saya suka yang gaya dan simpel, tapi enak
dilihat", papar Eka yang menjabat sekretaris Hijabers Surabaya.