Senin, 21 Februari 2011

Peran Wanita dalam Sistem Peradilan

Konferensi Internasional "Hak Wanita dalam Proses Keadilan Hukum" baru-baru ini diselenggarakan di Tehran dengan dihadiri oleh para peneliti dan praktisi hukum Iran, Swiss, Bahrain, Australia, Pakistan, Italia, Sudan, Irak dan Skotlandia. Tujuan dari penyelenggaraan konferensi ini adalah membahas peran wanita dalam lembaga peradilan, meningkatkan kemampuan mereka dan dukungan lembaga peradilan negara-negara di dunia terhadap hak-hak wanita.
Di setiap masyarakat, wanita sebagai bagian terpentingnya memiliki hak-hak. Hukum terkait mereka juga telah disusun yang tentunya dipengaruhi oleh budaya dan keyakinan masyarakat tersebut. Republik Islam Iran sebagai simbol negara yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam berhasil meningkatkan posisi manusiawi wanita dan mempersiapkan sarana demi pertumbuhan dan perkembangan potensi mereka.

Ibu Maryam Mojtahed Zadeh, Penasihat Presiden Republik Islam Iran Bidang Wanita dalam konferensi ini menyatakan, "Dengan terjadinya Revolusi Islam dan bimbingan Imam Khomeini ra, sejatinya telah terbuka babak baru bagi wanita Iran. Berdasarkan hal ini, telah banyak dilakukan usaha di bidang hak-hak wanita bagi tersedianya sarana bagi pertumbuhan dan kemajuan mereka. Pasal 21 Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran menegaskan, pemerintah harus menjamin hak-hak wanita dengan memperhatikan tolok ukur Islam. Proyeksi 20 tahun Republik Islam Iran punya pandangan khusus menguatkan lembaga keluarga dan meningkatkan posisi wanita di pelbagai bidang. Begitu juga dengan Piagam Hak dan Tanggung Jawab Wanita Muslim yang beberapa waktu lalu disusun di Iran yang menekankan hak dan kewajiban wanita.
Wanita dan pria dalam sistem hukum Islam dalam banyak kasus memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Dalam Al-Quran disebutkan mengenai persamaan hak wanita dan pria, bahkan tolok ukur nilai dan keutamaan manusia berada pada ketakwaan, bukan lainnya. Namun setiap wanita dan pria dengan memperhatikan tanggung jawab dan peran khususnya di tengah keluarga memiliki hak yang berbeda kepada keduanya. Perbedaan ini kembali pada urusan keluarga merupakan lembaga sosial paling utama dan menjamin kesehatan materi dan spiritual keluarga.
Bapak Ali Reza Taheri, Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang advokasi korban kekerasan menilai hukum sebagai modal kehidupan sosial seluruh umat manusia. Disebutkannya, "Di mana saja ada hak yang tidak diindahkan bakal melemahkan pondasi prinsip-prinsip pertumbuhan dan kemajuan manusia. Semua bagian masyarakat harus memikirkan hak-haknya demi menyampaikan manusia kepada kebahagiaan. Dasar ketinggian wanita kembali pada kepemilikannya atas hak dan kebebasan politik yang berkali-kali ditegaskan oleh UUD Iran. Hak yang secara alami ada pada prinsip-prinsip HAM."
Ali Reza Taheri menambahkan, "Saat ini di masa kemajuan manusia, ketertinggalan anak-anak dan wanita dari hak-hak dan kebutuhan primer mereka masih saja menjadi problema terbesar masyarakat. Pelanggaran HAM, khususnya terhadap wanita di kebanyakan negara dengan mudah dapat disaksikan di pelbagai negara. Penyelundupan, jual beli, pelecehan seksual dan aksi kekerasan terhadap wanita baik di lingkungan keluarga dan masyarakat, khususnya terkait konflik bersenjata, merupakan kasus-kasus pelanggaran hak-hak wanita."
Bapak Taheri juga menjelaskan betapa Islam punya cara pandang umum tentang persamaan wanita dan pria. Ditambahkannya, "Masyarakat Iran di balik keberadaan pemerintahan agama meletakkan upaya melindungi kepribadian wanita sebagai ibu dan pendidik anak-anak masyarakat. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatollah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei berkali-kali menegaskan dukungan moral dan undang-undang terhadap wanita. Demikian juga program kelima pertumbuhan ekonomi dan sosial Iran menegaskan pengukuhan lembaga keluarga dan posisi wanita."
Menurut para sosiolog, setiap masyarakat bakal berbahagia selama dua tonggak asasinya; wanita dan pria masing-masing harus mengetaui hak lainnya dan mengembalikannya. Ali Reza Avini, Kepala Kehakiman Tehran dalam konferensi ini menyatakan, "Kini sebagian dari populasi Iran dibentuk oleh remaja putri dan wanita. Wanita Iran aktif dan berpartisipasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kehadiran wanita di pelbagai bidang berarti masyarakat Iran menerima partisipasi mereka dan memahami peran dan pentingnya wanita. Perubahan ini secara pasti berpengaruh pada hak dan undang-undang terkait wanita."
Avini menambahkan, "Kini di sebagian negara banyak pemikir materialistik yang menyebarkan keyakinan yang salah dan menyimpang. Berdasarkan prinsip yang salah ini, sebagian menyatakan pria lebih penting dan menerima kekuasaan pria atas wanita dan yang lain malah meyakini sebaliknya. Namun tujuan dasar adalah hukum dan penerapan keadilan antara wanita dan pria, bukan kelebihan satu jenis kelamin atas yang lainnya. Kedudukan dan posisi hukum menuntut untuk mengambil langkah ke arah keadilan dan dengan memperhatikan kewajiban wanita dan pria menyusun hak dan hukum yang sesuai."
Lembaga-lembaga peradilan di Iran saat ini menyaksikan diberikannya sejumlah jabatan pengadilan kepada wanita. Masalah ini tentu punya hubungan dengan kehadiran dan peran wanita di lembaga-lebaga hukum dan perbaikan kondisi hukum wanita. Abbas Jafari Dolatabadi, Kepala Kejaksaan Tehran menyatakan, "Pasca Revolusi Islam, pada mulanya kehadiran dan pegawai wanita di sistem peradilan Iran sangat terbatas, namun perlahan-lahan ada perubahan besar. Sejak itu para wanita mulai diangkat dan memegang jabatan sebagai Hakim Pembantu, Ketua dan Penasihat di Tim Penyidik Kejaksaan. Kinerja mereka di jabatan-jabatan ini yang menyebabkan perubahan cara pandang akan posisi wanita. Dengan potensi dan inovasi yang mereka miliki, hendaknya para wanita mampu menampakkan kemampuannya di lembaga peradilan."
Dolatabadi menegaskan, pasa ketiga UUD Iran menjadi penjelas dan penghapus diskriminasi serta menciptakan kondisi kerja yang adil bagi semuanya. Pasal 20 dan 21 UUD Iran juga mewajibkan pemerintah mendukung pekerjaan wanita. Dolatabadi menambahkan, "Sejak tahun 1374 telah dimulai pengkondisian bagi kehadiran wanita di jabatan-jabatan peradilan. Sejak itu pula banyak wanita yang aktif di pengadilan-pengadilan keluarga dan anak-anak sebagai konsultan. Partisipasi wanita di bidang ini akhirnya memunculkan rasa aman yang lebih bagi wanita dan semakin ramahnya percakapan di pengadilan."
Pasca Revolusi Islam dan munculnya kondisi yang kondusif bagi peran aktif wanita, Iran mulai merasakan perlunya keberadaan polisi wanita di Iran. Sekaitan dengan ini, Kepala Polisi Tehran, Rajab Zadeh menyatakan, "Pada tahun 1377 Parlemen Iran meratifikasi undang-undang tentang perekrutan, pendidikan dan penugasan polisi wanita. Kini, polisi-polisi wanita telah merangkap pelbagai jabatan penting di kantor-kantor polisi seperti ketua tim hukum, identifikasi, peneliti di pusat-pusat riset polisi, konsultan dan penyuluh. Saat ini di kota Tehran ada 9 pusat konsultasi bagi keluarga dan wanita yang mempekerjakan petugas-petugas wanita."
Konferensi Internasional "Hak Wanita dalam Proses Keadilan Hukum" di Tehran di akhir acaranya mengeluarkan deklarasi. Pernyataan akhir ini meminta perluasan partisipasi wanita di lembaga-lembaga peradilan dan menciptakan hubungan ilmiah dengan pusat-pusat peradilan dan polisi wanita di negara-negara lain. Dalam deklarasi konferensi ini juga menegaskan dibentuknya sekretariat bersama demi menyebarkan informasi terkait masalah hak-hak wanita di tingkat regional dan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar