Selasa, 22 Maret 2011

Ulama Perempuan, Mengapa Tidak ? oleh Yulianti Muthmainnah

“….Kalau perempuan jadi presiden itu boleh, tapi kalau jadi keuchik ya.. gak boleh. Karena itu hanya untuk laki-laki. Laki-laki itu pemimpin, akalnya banyak,
gak gampang marah, beda dengan perempuan...”.

Itulah jawaban dari seorang penghuni salah satu barak di Banda Aceh pada bulan Agustus 2007 lalu. Pendapat Kak Cut muncul saat saya bertanya tentang pendapatnya mengenai mungkinkah perempuan menjadi keuchik [1]. Ia sangat disegani dan memiliki pengaruh dalam komunitasnya atau presiden?
Kepemimpinan Ulama Perempuan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pemimpin berarti orang yang memimpin. Sedangkan dalam Bahasa Arab, pemimpin disebut qowamun yang selain bermakna pemimpin, kata ini juga berarti pelindung atau pendidik. Menjadi pemimpin berarti seseorang ditunjuk, dipercaya oleh organisasi atau komunitasnya untuk menjadi pelindung, pendidik, dan sekaligus menjadi contoh yang baik bagi orang lain yang dipimpinnya.

Dalam kehidupan sosial masyarakat kita dewasa ini, wacana tentang kepemimpinan perempuan selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam dunia politik praktis, masuknya perempuan dalam kancah perpolitikan masih dianggap sebagai hal yang tabu. Padahal masuknya perempuan dalam perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak masa kesultanan atau kerajaan. Baik kerajaan yang bercorak Islam, Hindu, atau Budha. Sebut saja Ratu Kalinyamat di Jawa, atau Sultanah Sri Alam Permaisuri atau yang dikenal Sri Ratu Taj al-Alam Safiat Addin di Aceh. Ironisnya kepemimpinan perempuan hampir selalu digagalkan oleh para ulama laki-laki dengan mengusung dalil pamungkas. Lan yufliha qaum wallauw amrahum imra’ah (tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan). Digunakannya dalil-dalil semacam ini karena tradisi keulamaan banyak didominasi oleh kaum laki-laki.
Mengapa harus laki-laki?
Dalam suatu pertemuan yang membahas tentang kepemimpinan perempuan, dengan ibu-ibu komunitas di Jakarta tahun 2006, saya bertanya “Bagaimana dengan Jang Geum ? [2]. Spontan dan saling bersahutan, ibu-ibu menjawab. “Saya suka dengan Jang Geum, dia itu cerdas banget, lincah, berani, lemah lembut tapi juga tegas pada bawahannya. Makanya, ia jadi perempuan pertama yang dapet jabatan tabib agung di Istana Korea....” seorang ibu menambahkan, “......dia juga jadi perempuan karier pertama lho...”. Namun, jawaban ini akan berbeda jika pertanyaan yang saya ajukan terkait dengan kemungkinan perempuan menjadi ulama, imam shalat, atau berkhutbah di mimbar.

Kedua ilustrasi di atas menunjukkan bahwa ambiguitas akan muncul bila pertanyaan itu menyangkut pemimpin perempuan di ranah agama, seperti ulama atau keuchik. Ada inkonsistensi dalam pendapat mereka soal kepemimpinan. Menjadi pemimpin negara atau suatu instansi untuk perempuan bukanlah suatu halangan, tapi menjadi pemimpin agama menjadi larangan. Hal ini karena anggapan bahwa agama adalah wilayah sakral. Selain itu agama dipandang sebagai otoritas kaum lelaki.

Hal ini muncul karena dua faktor. Pertama, faktor budaya dimana masyarakat banyak menganggap perempuan tidak layak menjadi pemimpin agama, apalagi menjadi pembaharu dalam implementasi fiqh. Kedua, stereotip akal yang kurang. Hal ini telah terinternalisasi dalam jiwa perempuan, sehingga untuk memangku jabatan sebagai keuchik yang di kalangan masyarakat Aceh adalah hal yang hampir mustahil. Kalaupun ia mampu, ia cenderung berkata tidak. Keputusannya sangat dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya. Bila tidak mendapat dukungan dari suami, keluarga, atau lingkungan tak jarang juga perempuan akan berkorban demi keutuhan keluarga.
Ulama Perempuan? Mengapa Tidak!
Bagaimana Syari’at Islam memposisikan perempuan dalam wilayah kepemimpinan?. Dalam Alquran tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Mereka memiliki persamaan sebagai makhluk ciptaan Allah, kecuali dibedakan dari takwanya (QS. al-Hujurat [49]: 13); dan persamaan beban dan tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan kerja-kerja positif (QS. an-Nahl [16]: 97).

Implementasi dari ayat diatas telah dicontohkan Rasulullah dalam menggambarkan perempuan sebagai sosok yang aktif, sopan, dan terpelihara ahlaknya. Dimasa Rasulullah hidup, banyak perempuan yang aktif berdiskusi di masjid, dan meriwayatkan ribuan hadis. Bahkan, dalam Alquran, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah (QS al-Mumtahanah [60]:12), seperti figur Ratu Balqis yang memimpin kerajaan superpower (’arsyun ’azhim) (QS. Al-Naml [27]:23); memiliki kemandirian ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. Al-Nahl [16]: 97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (QS. Al-Qashash, [28]:23); bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi, al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami (QS. Al-Tahrim [66]:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum menikah (QS. Al-Tahrim, [66]:12).

Sayangnya, hal diatas tidak bertahan lama, sejak kepergian Rasulullah dan sejalan dengan perpolitikan dimasa itu kehadiran ulama perempuan mulai berkurang. Adalah Umar bin Khatab yang mula-mula melarang perempuan untuk shalat di masjid. Lalu, pada masa selanjutnya perempuan makin tersingkir dari wilayah politik dan terhalang menjadi pemimpin. Kepemimpinan perempuan benar-benar dihapus dalam kesejarahan Islam. Dan, parahnya lagi seolah kita melupakan hadirnya para pemikir perempuan yang pantas disebut sebagai ulama semisal Sayyidah Nafisah yang menjadi guru bagi ulama terkenal al-Shafi’i ketika mengikuti halaqoh di kota Fustat, Shaykhah Shuhda yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu (sastra, stilistika sampai puisi), Rabi’ah al-Adawiyah dalam kajian sufi, dan berbagai nama lainnya.

Ketika Perempuan Berkesempatan jadi Ulama Adalah Rahima yang menggelar kegiatan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) selama 2005-2006. Para peserta yang terpilih, adalah para perempuan yang mewakili daerahnya masing-masing. Peserta yang terpilih telah mengikuti seleksi yang cukup ketat dari tim Rahima. Hanya satu tujuannya yaitu, memunculkan potensi ulama perempuan dalam kancah kepemimpinan agama di Indonesia.

Saya, adalah satu dari peserta yang terpilih. Sama-sama merasakan betapa kehadiran kami dianggap kecil dan sederhana, terutama jika bicara tentang agama. Tak jarang pula orang akan bertanya berapa usia kami, belajar dimana, berguru pada siapa, dan pertanyaan lainnya yang mengecilkan. Apalagi jika berhadapan dengan para tokoh agama yang telah memiliki pengaruh yang cukup kuat. Agaknya, masyarakat kita lupa akan nasebat nabi unzur ma qola wala tanzur man qola (lihat apa yang dikatakan dan jangan lihat siapa yang mengatakannya).

Selain itu, bicara tentang ketidakadilan bagi perempuan dalam literatur fiqh bukan perkara mudah. Ungkapan sebagai antek antek asing sering kami jumpai. Tapi, kami tak pernah menyerah, karena rata-rata telah memiliki majelis taklim dan ruang-ruang diskusi untuk terus mengirimkan kabar baik yang bernama ’keadilan dan kesetaraan dalam Islam’.

Bagi kami, PUP merupakan wadah menuangkan gagasan dan berbagi pengalaman. Kami meyakini benar, bahwa hambatan masih akan kami jumpai. Untuk itulah, saatnya ulama perempuan saling bahu membahu dan terus berjaringan. Gerakan perempuan insyaallah akan semakin mantap dengan hadirnya para ulama yang turut menyuarakan keadilan relasi lelaki- perempuan. ]
(Diolah dari berbagai sumber.)

PENGORBANAN WANITA

Sebuah upaya menghindarkan wanita menjadi korban
Secara biologis wanita tercipta berbeda dengan kaum adam yang identik dengan keperkasaan dan keberanian. Naluri wanita yang lemah lembut, penakut, penuh perasaan sering menjadi identitas abadi bagi mereka. Tidak aneh jika kita menemui seorang gadis, takut tinggal dirumah sendirian walaupun matahari bersinar terang. Namun disisi lain tak dapat kita pungkiri telah banyak pejuang dan pahlawan wanita yang tercatat sejarah, baik pahlawan dalam membela agama maupun pahlawan kusuma bangsa. Perjuangan wanita belakangan juga sering kita temui di lingkungan kita, yang tidak bisa digolongkan dalam kategori kepahlawanan. Seperti seorang wanita yang bekerja untuk menambah penghasilan suami, dan sekaligus merangkap sebagai ibu rumah tangga, mengatur urusan dalam negeri rumahnya, atau seorang ibu yang merangkap sebagai ayah (single parent).
Dalam kontek kekinian pengorbanan wanita tidak identik lagi dengan angkat senjata, berani naik pohon kelapa, atau manjat genting guna membetulkan kebocoran rumah, pengorbanan wanita lebih terfokus pada kesiapan mental dan kematangan pribadinya dalam menjalani fase-fase kehidupan yang dilewatinya.
Pengorbanan seorang perempuan telah terasa semenjak mereka kanak-kanak. Dia mulai tidak bebas lagi bermain dengan pemetakan yang sering terlontar diantara sesama temannya. Ini ditandai dengan mulai muncul tanda kewanitaan. Saat ini peran seorang pendidik berpengaruh besar memberikan dorongan dan pengertian agar anak berani menghadapi tantangan hidup yang baru saja ditemuinya. Di fase inilah seorang anak perempuan memulai pengorbanan awalnya.
Pengorbanan seorang gadis yang sudah mulai tumbuh dewasa semakin berat dibanding fase sebelumnya. Karena si gadis sudah mulai terlihat matang secara fisik dan psykis, si gadis mulai menarik perhatian orang sekitarnya. Maka dari itu, seorang gadis muslimah harus rela berkorban untuk menutup auratnya, membungkus seluruh tubuhnya guna menyelamatkan dirinya dari pandangan liar yang tertuju padanya.
Pengorbanan seorang gadis tidaklah cukup hanya menutup aurat, seorang gadis pun harus mampu menjaga pergaulan dan pola hidup keseharian. Berbeda dengan anak laki-laki, seorang gadis akan dinilai negative oleh lingkungannya jika dia sering keluar malam, atau bergurau secara berlebihan di depan umum. Seorang gadis juga akan digunjing oleh lingkungannya jika dia berdandan secara berlebihan.
Kematangan pribadi wanita sangat urgen untuk memasukai fase berikutnya yang lebih berisiko, yaitu fase rumah tangga. Pribadi wanita yang labil dan rapuh serta penakut sangat berpengaruh terhadap perjalanan bahtera rumah tangga keluarganya. Apa yang terjadi jika seorang suami didampingi wanita labil yang tidak memiliki pendirian dalam mempertahankan prinsip-prinsip hidupnya.
Sebagai seorang istri, diantara pengorbanan yang harus direlakan adalah tidak menghalangi tugas-tugas suami apalagi menghambatnya. Karena selain sebagai kepala rumah tangga yang harus mencari nafkah untuk keluarga, seorang suami juga punya tanggung jawab social di lingkungan masyarakat tempat dia tinggal yang sama-sama pentingnya. Sebagai seorang istri tidak sepantasnya menghalangi suami mengulurkan tangan memberikan kontribusi demi terwujudnya lingkungan masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
Tapi wanita kuat adalah wanita pemberani yang berbekal kematangan pribadi dan mental yang siap berkorban untuk membantu pasangannya ketika dibutuhkan.
Seperti seorang sahabat yang bernama Ummu Salamah yang rela berkorban untuk berpisah dengan suami dan anaknya untuk hijrah demi kemulyaan agama Islam, walupun secara naluriah kewanitaannya dia tetap menangis selama satu tahun sampai akhirnya bertemu lagi dengan suaminya.
Dalam era globalisasi, modernisasi, dan westernisasi ini tuntutan terhadap pengorbanan wanita lebih besar dari era-era sebelumnya. Pengorbanan ini antara lain berupa upaya menahan diri untuk tidak tergiur dengan berbagai peran yang disodorkan kepada wanita dengan jargon emansipasi dan persamaan hak. Bukan tidak sepakat dengan kesamaan hak lelaki dan wanita sebagai hamba Allah di muka bumi, namun agama dalam hal ini telah mengatur peran sesuai dengan kondisi fisik dan biologis yang diciptakan.
Atas nama persamaan hak, seorang wanita bisa jadi menuntut untuk diberi peran-peran strategis yang dapat diperankannya tanpa menghilangkan fungsi dan tugas-tugas sebagai seorang wanita, istri dan ibu rumah tangga. Tapi pada saat yang sama pihak lain juga mengatasnamakan persamaan hak dan kewajiban, mempekerjakan wanita pada pos-pos yang jauh dari kebiasaan dan tabiat wanita.
Untuk itu kaum wanita dituntut untuk menahan diri dalam menggunakan senjata emansipasi dan kesamaan hak antara wanita dan laki-laki, karena ada pihak-pihak yang sengaja menghembuskan issu tersebut untuk mengeruk keuntungan dalam bentuk eksploitasi wanita dan pemberian peran kepada wanita yang tidak sesuai dan bahkan merusak moral serta tatanan kehidupan bermasyarakat, dengan dalih persamaan hak dan emansipasi wanita.
Di tengah maraknya kesadaran ber-Islam saat ini, kita saksikan di sana-sini simbol-simbol Islam bermunculan, dipajang dan dipublikasikan sedemikian rupa. Namun, pihak-pihak yang tidak senang kepada kemajuan masyarakat Muslim ini, secara terang-terangan juga melakukan upaya resistensi menghadirkan usaha tandingan dengan tetap maraknya media-media amoral dan pendirian tempat-tempat hiburan melenakan.
Untuk itu, melatih anak perempuan untuk mau berkorban lebih dini, akan memberikan bekal kekuatan dan kesadaran tinggi dalam mengarungi masa-masa hidup selanjutnya. Melatih anak perempuan untuk berkorban perasaan dengan tidak mengikuti mode dan gaya hidup menyesatkan sejak kecil, akan lebih mudah membinanya ketika mereka beranjak dewasa dan pada usia-usia rentan fitnah dan cobaan.
Pengorbanan ini juga berlaku bagi kaum adam sebab pelaku destruktif moral juga muncul dari dominasi tangan laki-laki. Penulis sepakat bahwa banyak kaum wanita menjadi korban kebiadaban lelaki, jadi tidak fair jika hanya wanita yang dituntut untuk selalu menahan diri dan menjaga diri. Hanya saja bentuk perngerbonan bagi kaum adam berbeda dengan wanita, dan bukan disini tempatnya membicarakan pengorbanan itu (kaum adam).
Dalam paparan singkat ini, penulis ingin mengangkat pentingnya pengorbanan wanita agar tidak menjadi korban kekerasan fisik maupun psykis pihak lain, baik kaum lelaki maupun wanita itu sendiri. Berapa banyak wanita menjadi korban, yang menyebabkan ketidakrelaan mereka untuk sedikit berkorban demi dirinya sendiri. Berapa banyak wanita menjadi korban kekerasan kehidupan kota, karena tidak mau berkorban dengan cara menahan diri hidup di kampung, atau mencari cara yang tepat untuk hidup di kota. Berapa banyak wanita menjadi korban pelecehan seksual, karena mereka tidak mau berkorban sedikit dengan merelakan menutup aurat secara tepat atau merubah pola pergaulan, atau bepergian dengan pengiring yang aman. Dan contoh lain masih banyak.
Di sini pengorbanan wanita menjadi sangat urgen, demi keselamatan diri mereka agar tidak melulu menjadi korban. Berkorbanlah sebelum Anda menjadi korban!.(Atiqoh)

Kamis, 17 Maret 2011

Kunjungan Dharma Wanita Persatuan Kementerian Sosial di Panti Sosial Bina Laras " Budi Luhur " Banjarbaru Kalimantan Selatan

Rombongan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Sosial yang dipimpin langsung oleh Ketua Nyonya Lenny Situmorang (Istri dari Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI)  mengadakan kunjungan ke wilayah Kalimantan Selatan. Rombongan 32 orang ini, antara lain juga terdiri dari Nyonya Sulastri Siahaan (Istri dari SAM Bidang Otonomi daerah), Nyonya Budi Utomo (Istri dari Dirjen Banjamsos), Nyonya Yulia Maman (Istri dari Ispektur Jenderal), Nyonya Tutik Choiri (Istri dari Setdirjen Yanrehsos) serta ibu-ibu pejabat eselon I dan II di lingkungan Kementerian Sosial lainnya.
           Kegiatan ini melaksanakan kunjungan dalam rangka silahturahmi meningkatkan tali persaudaraan antara DWP Kementerian Sosial dengan Dharma Wanita BBPKS Banjarmasin dan Dharma Wanita PSBL Budi Luhur Banjarbaru maupun dengan Dharma Wanita UPTD Provinsi Kalimantan Selatan. Juga memberikan sumbangan 500 buah sarung dan 500 buah handuk untuk dibagikan sesuai jumlah kelayan/penerima manfaat yang ada di  UPT PSBL Budi Luhur dan UPTD Provinsi Kalimantan Selatan   (PSTW Budi Sejahtera, PSAA Budi Mulia, PSBR Budi Satria).
           Kunjungan silahturahmi yang berlangsung UPT dan UPTD ini yang dilaksanakan selama 3 (tiga) hari yaitu tanggal 21-23 Januari 2010, secara umum Ketua DWP Kementerian Sosial menyampaikan pesan akan Kemandirian Dharma Wanita dan Peranan anggota Dharma Wanita yaitu mandiri dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya dan memperkuat tugas-tugas sebagai ibu rumah tangga maupun anggota masyarakat, diharapkan agar lebih percaya diri untuk mengembangkan peranannya dengan selalu mengupdate/mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan diri dan mental spiritual sehingga cantik luar dalam sebagai ibu maupun anggota masyarakat.

           Di Panti Sosial Bina Laras “Budi Luhur” Banjarbaru, DWP Kementerian Sosial selain mengadakan silahturahmi dengan ibu-ibu Dharma Wanita PSBL Budi Luhur dan memberikan cidera mata dan sumbangan sarung serta handuk, juga berkeliling didampingi pejabat dan ibu-ibu panti untuk beramah tamah dengan kelayan/penerima manfaat dan melihat kondisi sarana rehabilitasi panti.

Wanita dan Perubahan Sosial

Hari Minggu ada Festival Indonesia di Nagoya. Acara tahunan tersebut tak dapat saya ikuti karena saya sudah dimintai tolong menjadi pembicara 4 bulan sebelumnya oleh Pan-Pacific South East Asia Women Association in Japan, chapter Aichi. Asosiasi ini akan mengadakan Konferensi Internasional di Bali tahun 2010, dan sebagai warming up mereka ingin mendengar lecture tentang wanita di Indonesia.
Saya menolak tawaran ini saat pertama kali diajukan oleh salah seorang komitenya, pertama karena saya sedang tegang-tegangnya menulis disertasi dan kedua karena ini bukan bidang saya, yaitu membahas wanita, gender, pendidikan dan perbahan sosial di Indonesia. Sangat berat bagi saya ! Sebenarnya seorang peneliti tentang pendidikan putri di Indonesia, Prof Mina Hattori sebelumnya telah diminta untuk menjadi pembicara, tetapi berhubung beliau hendak pergi ke Inggris dalam masa itu, sehingga dibatalkan.
Sekitar seminggu sebelum acara, saya bertemu dengan 3 orang pengurus utama di sebuah coffee shop di dekat kampus, dan dari situ saya sedikit mendapat gambaran materi seperti apa yang mereka inginkan. Sambil minum kopi, saya diberondong dengan sejumlah pertanyaan tentang suku-suku di Indonesia, tentang kesempatan bersekolah tinggi yang saya dapatkan, dan banyak hal lainnya, yang kesimpulannya mereka puas dan benar-benar berharap saya bisa menyampaikan lecture di hadapan anggota.
Jadi saya prei menulis paper, dan mulai merangkai materi presentasi di sela-sela jam kerja Jumat dan Sabtu. Setelah menggoogle data-data yang terkait dengan pendidikan wanita Indonesia, pekerjaan dan beberapa tulisan tentang peranan wanita di setiap suku, lalu merangkainya menjadi sebuah slide presentasi, menerjemahkan semua data dan konsep ke dalam Bahasa Jepang, membacanya ulang, saya berdecak kagum: INDONESIA (APALAGI WANITANYA) MEMANG HEBAT !!  (narsis mode :D   )
Hadir pada acara hari itu, semua pengurus di Aichi, para anggota dan ketua pusat yang menyempatkan hadir dari Tokyo. Sekitar 30 orang. Acara dimulai dengan menyantap makan siang yang sungguh cantik dan lezat. Semuanya serba ikan, barangkali demi menghargai saya yang tidak bisa makan daging (foto makanan akan saya upload di photoblog). Sayangnya saya tidak begitu menikmatinya sebab selama makan saya disibukkan menjawab pertanyaan.
Slide presentasi saya berisikan informasi global tentang Indonesia, sebagai negara yang sangat heterogen. Kebanyakan berupa foto image yang dengannya saya coba menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia menempatkan wanita. Sebuah foto jamaah sholat saya tunjukkan dan jelaskan bahwa wanita di dalam Islam selalu berada di belakang laki-laki dalam hal kepemimpinan. Tapi bukan berarti wanita kalah dalam kepandaian. Sebagai istri, dia diwajibkan patuh kepada suaminya yang menafkahinya dan tentu saja jika suaminya adalah juga patuh kepada TuhannNya. Sebagai anak dia diwajibkan patuh kepada ayahnya yang membuatnya gembira selalu dengan aneka barang dan kesenangan. Tetapi sekalipun selalu di belakang laki-laki, wanita tidak pernah direndahkan karena sebuah kalimat sakti : SURGA ITU ADA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU. Jadi, kami kaum wanita di dalam Islam tidak pernah merasa dilecehkan dengan selalu berdiri di belakang laki-laki pada saat beribadah.
Di dalam kebanyakan suku di Indonesia, wanita bertanggung jawab penuh terhadap pengasuhan anak. Di kalangan masyarakat kelas bawah, wanita bahkan bekerja di lahan-lahan pertanian, menjadi buruh bersama-sama dengan laki-laki dan karenanya anak-anak mereka diasuh oleh anak perempuan tertua, sanak famili atau tetangga. Sikap gotong royong semacam ini sudah lazim di pedesaan. Saya tidak mengalaminya memang, tetapi saya menyaksikan sebagian besar keluarga saya di desa melakukan hal ini.
Wanita-wanita di kalangan menengah dan atas dahulu umumnya tidak bekerja dan mereka lebih banyak menggunakan waktu dalam pengasuhan anak. Wanita-wanita di kalangan ini yang pada akhirnya berkesempatan mendapatkan pendidikan yang kemudian membawanya kepada posisi atau pekerjaan bergengsi di masa sekarang. Yang menarik adalah proses pengasuhan anak di kalangan masyarakat menengah dan atas beralih dari pengasuhan sendiri kepada pengasuhan pembantu, baby sitter atau sanak famili. Sekarang bahkan banyak dibuat lembaga penitipan anak di kota-kota besar. Fenomena ini sama dengan masyarakat Jepang saat ini.
Saya ditanya oleh seorang Ibu tentang pembantu. Beberapa puluh tahun yang lalu, familinya pernah tinggal di Indonesia dengan 5 orang pembantu. Dia menanyakan apakah kebiasaan ini masih ada, sebab di dalam keluarga Jepang, pembantu bukanlah hal yang lazim. Saya jawab, ya. Permasalahannya bukan karena merendahkan status manusia, apalagi wanita, tetapi sumber pekerjaan yang kurang, menyebabkan beberapa memilih pekerjaan sebagai pembantu. Bahkan negara kami adalah pengekspor pembantu (Saya cukup miris mengucapkan ini dan terbayang kepada kaum ibu yang tengah berjuang di rumah-rumah orang kaya di tanah Arab).
Masalah pengambilan keputusan dalam keluarga juga saya jelaskan mengalami perubahan yang cukup signifikan sejalan dengan perubahan sosial dan tingginya kesempatan mengenyam pendidikan. Dahulu, bapak/ayah adalah decision maker dalam keluarga, ibu mendukung dan anak-anak harus patuh. Sekarang terjadi pergeseran, sebab kaum Ibu yang terdidik mulai ikut bersuara, dan dalam periode tertentu, ayah hanya mendukung. Seperti halnya dalam keluarga dengan ayah yang sudah pensiun, keputusan biasanya didominasi oleh anak tertua atau anak yang paling tinggi tingkatan pendidikannya.
Sekalipun wanita di Indonesia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, pada kenyataannya jumlah wanita yang menamatkan kuliah S1, S2 dan S3 di perkotaan hanya 2.89% dan di pedesaan hanya 0.43%. Sekitar 23% wanita di perkotaan tidak memiliki ijazah dan 40% di pedesaan. Sebagian besar wanita di perkotaan, 27% hanya mempunyai ijazah SD, 19% mempunyai ijazah SMP, dan 19% mempunyai ijazah SMA, sebaliknya 37% wanita di desa mempunyai ijazah SD, 14% SMP, dan hanya 5% yang memiliki ijazah SMA. Kondisi pendidikan di pedesaan tak sebaik di kota. Dan dengan beratnya beban biaya masuk ke universitas saat ini, hanya keluarga kaya atau yang beruntung mendapatkan beasiswa yang bisa memasuki jenjang itu. Kesempatan mengenyam pendidikan tinggi bagi wanita di Indonesia lama kelamaan menjadi sesuatu yang langka.
Dari segi pekerjaan di level kenegaraan, setiap tahun hanya sekitar 62 orang anggota Dewan adalah wanita atau sekitar 12% dari total anggota (550 orang). Jika dibandingkan dengan populasi penduduk laki-laki (109 juta) yang hampir sama jumlahnya dengan populasi perempuan (108 juta), maka angka 62 adalah sangat kecil. Pada tahun 2006, sekitar 84.74% laki-laki bekerja dan 48.63% wanita bekerja. 36% lebih wanita bekerja pada pekerjaan yang tak dibayar, dan sekitar 28% bekerja sebagai buruh dan pegawai kantor, 26% bekerja sebagai wiraswasta dengan staf anggota keluarga atau seorang atau dua orang pekerja tak tetap.
Dalam jabatan struktural, hanya 63 orang wanita memiliki jabatan eselon I, 755 orang eselon II, 7,444 orang eselon III, 47,348 orang eselon IV, dan 3,095 orang eselon V. Sekitar 972,953 wanita memegang jabatan fungsional tertentu, dan sekitar 500 ribu orang memegang jabatan fungsional umum.
Saya mengakhiri presentasi saya dengan menegaskan bahwa jika dibandingkan 20-30 tahun yang lalu, wanita di negara kami sudah sangat pesat mengalami perbaikan status dan kesempatan untuk dididik. Tetapi perubahan sosial yang juga pesat terjadi sebenarnya tidak cukup banyak mengubah pandangan tentang wanita dan penghargaannya dalam masyarakat Indonesia. Wanita tetap menjadi penanggung jawab pengasuhan anak dan kami tidak menentang ini sebab ini adalah kodrat, tetapi dukungan keluarga besar di dalam masyarakat Indonesia menyebabkan pengasuhan anak seakan menjadi tanggung jawab bersama.
Satu jam lebih menjelaskan tentang wanita di Indonesia ternyata tidak membuat peserta puas, sekitar setengah jam saya ditanya bermacam-macam hal seputar pengiriman perawat Indonesia ke Jepang, pandangan saya tentang masyarakat Jepang, tentang pendidikan bahasa yang pernah saya dalami di sekolah, tentang pendidikan moral dan agama di sekolah dan banyak hal yang membuat saya tak sempat menikmati kue lezat yang disajikan saat acara tea break :(
Seminar yang berlangsung di sebuah hotel mewah di Nagoya, dan dihadiri para istri-istri orang besar di Aichi membuat saya cukup keder. Saya mengalami culture shock sesaat memasuki ruang pertemuan dan berbicara dengan mereka. Saya yang kadang-kadang berteriak dan tertawa lepas di lab, kali ini harus berbicara pelan, lambat, tertawa pelan, tersenyum, dan bolak-balik membungkuk, menggunakan bahasa halus, mengikuti kebiasaan wanita-wanita kelas atas Jepang :(
Catatan :
Sumber data : SUPAS BPS, Ikhtisar Pendidikan Depdiknas 2005/2006, situs Kementrian Pendayagunaan perempuan.

Selasa, 15 Maret 2011

Dewi Yogo Pratomo dengan Gaya Hidup Hipnosis



Ingin berbuat lebih banyak, Dewi pun mendirikan Club Hypnosis Sehati. Ternyata, baru setahun lebih, CHS sudah melakukan 118 bakti sosial. Bulan ini, ia pun siap melakukan kegiatan besar, yang kelak akan dimasukkan dalam rekor MURI.



Ada canda ada pula keseriusan. Namun, suasana di dalam ruangan berhawa dingin itu, terbangun dengan sendirinya. Semua orang seolah terbawa ke alam lain, yang tercipta dengan ‘nyata’. Dewi, telah membawa dunia lain pada sugesti orang-orang di depannya. Sebuah dunia yang penuh ketenangan.
“Itulah hipnosis,” katanya, usai membuka kesadaran. Ia baru saja menyelesaikan mantra-mantranya. Di depan Dewi, beberapa wanita berusaha menghapus air mata. Yang lainnya, hanya duduk tercenung.
Dihipnosis, memang jadi satu sesi yang paling ditunggu peserta workshop hynotherapy. Ada rasa ingin tahu, bagaimana berada dalam satu keadaan, yang selama ini hanya menjadi pikiran, keinginan, hingga ketakutan dalam hidup mereka.
“Di dalam kehidupan negara-negara maju, hipnoterapi sudah bukan untuk orang sakit saja. Hipnoterapi sudah menjadi gaya hidup. Contohnya, Michael Schumacher, Steffi Graf, Vanessa William, hingga politisi, artis seperti Madonna, Tom Cruise dan banyak lagi, mereka punya terapis. Ada waktu satu hari, 2 X 45 menit hanya untuk di hipno. Bagaimana mereka memperbaiki perilaku supaya bisa the winning dalam mind set,” terang Dewi.
Dalam wadah Club Hypnosis Sehati yang didirikan Dewi satu setengah tahun silam, Hipnosis memiliki warna yang berbeda. Tidak lagi berbau mistik –seperti anggapan banyak orang-, justru menjadi kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan.
Trauma Berkurang
Menjadi terapis hipnoterapi, bukanlah suatu kebetulan bagi wanita aktif bernama lengkap Dewi Yogo Pratomo. Bermula ketika ia kuliah di University of Maryland. Dewi memilih memperdalam dua bidang sekaligus, Keuangan dan Psikologi Industri. Lulus S1, wanita ini meneruskan pendidikannya dengan memperdalam Psikologi Perilaku Manusia (Human Behaviour), yang merupakan perpotongan disiplin ilmu Psikologi Industri dan Psikologi Murni Klinis.
Sampai suatu hari, Dewi bertemu dengan seorang profesor di Maryland yang memperkenalkan dunia hipnoterapi padanya.
“Saya juga beberapa kali jadi kelinci percobaan. Saya menemukan inside, setelah di regresi, trauma-trauma itu sudah mulai berkurang, aku mendapatkan pencerahan disitu. Aku merasakan ilmu ini bisa dijadikan suatu alat di profesiku. Kebetulan aku konsultan Sumber Daya Manusia,’ ujar Dewi.
Dewi mengakui bahwa dirinya juga pernah mengalami turbulensi dalam hidupnya. Dan saat itu dengan ilmu hipnoterapi yang telah ia kuasai, Dewi mampu bangkit kembali. Merasa tertolong dengan ilmu tersebut, Dewi yakin dia bisa membantu banyak orang. Inilah yang ia sebut multiplier effect. Membuat ia juga ingin menolong orang lain dalam memberdayakan batinnya, membuat orang menjadi produktif.
“Sebenarnya, dulu sudah banyak profesor dan psikiater yang menggunakan metode ini. Tetapi masih belum populer seperti sekarang. Dulu ilmu ini masih masuk grey area, apakah itu scientific atau tradisional. Kesininya baru bisa dijabarkan masuk ke dalam scientific dan bisa dicerna serta ada kaitannya dengan ilmu- ilmu medis,” ujar Dewi.
Banyak Cobaan Hidup
Sepulang dari Amerika, tahun 1987, Dewi bekerja di perusahaan pengeboran minyak di lepas pantai. Banyak sekali masalah yang dihadapi karyawan, dan segera butuh solusi.
‘Ternyata setelah memakai hipnoterapi ini, kita menasehatinya jadi seperti jalan tol. Resistensinya lebih sedikit, dan kita bisa merubah perilaku orang itu. Cara ini sangat efisien,” kata wanita kelahiran 10 Maret 1964, bersemangat.
Hipnosis, kata Dewi, sangat bermanfaat, efektif dan efisien digunakan orang. Dari atasan yang menasehati bawahannya, orangtua pada anak, hingga suami pada istrinya.
Sampai suatu hari suami Dewi memberikan pilihan hidup yang cukup berat. Tetap bekerja menjadi konsultan yang dalam 12 bulan hanya 4 bulan berada di rumah, atau berheti bekerja.
‘Jadi aku harus memprioritaskan hidup. Padahal aku tidak bisa nganggur. Di dalam pertapaanku, timbulah nuansa-nuansa, apa kegiatan yang bisa bermanfaat denan orang lain tanpa mengorbankan keluarga. Maka munculah praktek itu,’ kata Dewi.
Di rumahnya di kawasan elit Menteng, Dewi membuka klinik hipnoterapi yang ia beri nama ‘Cendana 4A’. Sayangnya, ijin praktek sulit keluar karena klinik Dewi berada di daerah pemukiman. Barulah pertengahan 2007 ia resmi membuka kantor dan klinik di Menara Kebon Sirih.
“Klien, ternyata terus bertambah. Ternyata, orang sudah mulai mengenal ilmu ini dengan baik,” kata Dewi.
Meski dibuka untuk umum, Dewi tetap memprioritaskan melakukan pengobatan untuk ibu, anak dan keluarga.
“Ada tiga hal yang dibutuhkan dalam hipnoterapi ini. Yang pertama harus ada hubungan timbal balik antara terapis dan pasien, paling tidak pasien harus percaya 100 persen dengan terapisnya. Yang kedua, pasien harus sadar kalau terapi ini jadi satu kebutuhan. Yang terakhir, pasien harus ada keinginan untuk berubah. Ini menjamin efektifitas hipnoterapi,’ terang Dewi.
Bakti Sosial 118 Kali
Melalui Club Hypnosis Sehati, Dewi ingin berbuat lebih banyak. Dengan rendah hati, Dewi mengatakan bahwa CHS lebih banyak melakukan kegiatan bakti sosial. Dalam satu setengah tahun, sejak CHS berdiri, Dewi beserta teman-temannya telah melakiuan 118 kali bakti sosial.
‘Baksos kita ini berbeda dengan baksos-baksos lainnya. Simpelnya, kita datang, peserta kita dudukkan, lalu kita hipno. Kalau anak-anak sekolah, manfaatnya bisa gampang menghafal sampai gampang belajar. Nilai-nilai rapotnya ternyata mengalami kenaikan yang siginifikan. Kalau ibu-ibu dhuafa, kita sugestikan untuk sehat dan tegar menjalani hidup. Lain lagi kalau panti wreda, kita pakai musik hipnonya agar jiwanya tenang,” jelas Dewi.
Selain menghipnosis, CHS yang beranggotakan lebih dari 100 orang ini, juga memberi santunan uang atau sembako, kesehatan atau pengobatan gratis, juga hiburan gratis.
“Pernah. Mereka kita ajak nonton di Mega Blitz rama-ramai. Seru banget deh,” ujar Dewi, senang.

Hypnobirthing Massal


CHS akan membuat gebrakan dalam memperingati Hari Ibu di bulan Desember ini.

“Awalnya, kita mau melakukan hipno massal pemecahan rekor MURI. Kita mau menghipnotis 2000 orang. Sayangnya setelah kita pikirkan matang-matang, kegiatan ini tidak efektif. Akhirnya kita ubah, bagaimana kalau kualitas kita tingkatkan tapi jumlah kita kurangi. Apalagi berkaitan dengan Hari Ibu. Lantas, kita spesifikan pada ibu hamil,” ujar Dewi.
Lantas, apa itu hypnobirthing?
“Ini satu proses pra persalinan untuk bisa menenangkan para ibu hamil menghilangkan rasa sakit saat si ibu persalinan. Lalu kita memperkenalkan rasa sakit itu apa, dan bagaimana memerangi rasa takut,” terang Dewi
Pada saat para ibu hamil ini di hipnosis, “mereka aku bawa ke proses persalinan. Aku giring mereka ke visualisasi yang mendekati aktual, pada saat mereka masuk ke ruang persalinan, pada saat operasi, ketemu dokternya. Dengan begitu, kita sudah melatih mental mereka hingga pada saat persalinan nanti, perasaan itu bukan jadi hal baru.’
“Kita sudah lakukan penelitian testimoni ke beberapa ibu yang telah di hipnoterapi saat hamil. Pada saat melahirkan mereka memang jauh lebih tenang, lebih fokus dan rasa sakitnya tidak terasa. Itulah keajaiban Tuhan yang ada di mind set orang,” lanjut Dewi, bersemangat.
Aien Hisyam

Senin, 14 Maret 2011

Kehidupan Masyarakat dalam Bidang Sosial dan Budaya pada Masa Penjajahan

Pada masa itu, masa dimana rakyat masih menggunakan tempurung kepala untuk meminum air yang didapat dari mata air, rakyat biasa hidup menderita. Mereka miskin makanan, miskin pendidikan (rakyat miskin tidak dapat bersekolah), miskin baju, serta miskin akan hak-hak sebagai manusia. Bahkan, ketika ekspor panen getah naik 40% pun, rakyat masih memakan umbi batang pisang. Bisa dikatakan bahwa martabat manusia saat itu tidaklah lebih penting dari hasil panen kopi. Bahkan, anak-anak dari kalangan rakyat miskin pun diharuskan untuk bekerja (misalnya dengan menjual rumput liar) agar dapat bertahan hidup. Mereka hidup terjajah dan terbelakang.
Hidup terlihat sangatlah tidak adil bagi kaum rakyat biasa tersebut. Merekalah yang menanam dan memanen hasil-hasil ekspor tersebut namun bukannya menikmati keuntungan dari apa yang mereka lakukan, mereka malah mendapatkan penderitaan dan keuntungan yang didapat diambil oleh kaum penjajah. Meskipun tidak adil dan mereka hidup dengan sangat menderita, mereka mau tidak mau harus tetap mengikuti hal-hal yang sudah berlaku dan hanya bisa pasrah agar tetap dapat melangsungkan hidup mereka. Yang terasa berlebihan yaitu anak-anak kecil diharuskan untuk bekerja, padahal mereka seharusnya memiliki hak untuk menikmati masa-masa indah sebagai anak-anak, bukanlah merupakan kewajiban mereka untuk bekerja, kewajiban untuk bekerja sudah selayaknyalah berada pada pundak orang tua mereka.
Di zaman tersebut, gelar tertinggi (terutama untuk wanita) yaitu gelar ‘Raden Ayu’. Gelar tersebut bisa didapat dengan menjadi istri utama dari seorang bupati. Seorang bupati bisa menikahi sebanyak mungkin wanita yang ia inginkan, namun hanya seorang dari merekalah yang bisa diangkat menjadi istri utama. Istri utama akan tinggal di rumah utama dan istri lain tinggal di rumah lain meskipun masih berada dalam satu kompleks.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum wanita pada zaman tersebut dianggap tidaklah lebih tinggi daripada kaum pria, terjadi diskriminasi terhadap perempuan dan kaum wanita pun tidak mampu melakukan hal apapun selain pasrah karena hal tersebut sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Kaum wanita dianggap sebagai barang yang bisa dipilih, dinikahi, dan diperlakukan secara sewenang-wenang oleh seorang pria. Poligami tersebut menjadi contoh atas poligami yang terjadi sekarang, serta memperjelas ketidak adilan terhadap kaum wanita yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, yang jelaslah merendahkan martabat kaum wanita. Terlebih lagi, ketika kaum pria membandingkan derajat wanita yang satu dengan wanita yang lainnya, hal tersebut dapat dipastikan sangat menyinggung martabat seorang wanita.
Anak-anak dari tiap istri akan dibawa ke rumah utama. Dan anak-anak tersebut tidak akan memanggil ibu kandungnya dengan sebutan ‘ibu’ namun sebutan lain (‘yuk’) karena dianggap bahwa ibu lain selain istri utama memiliki pangkat lebih rendah daripada anak itu sendiri.
Terdapat stratifikasi, bahkan dalam kaum wanita itu sendiri. Mereka yang berpangkat lebih tinggi bisa menikmati hidup lebih layak daripada mereka yang berpangkat lebih rendah. Yang menyakitkan adalah bila mereka yang berpangkat lebih rendah dipisahkan dari anak mereka dan bahkan tidak diijinkan untuk dipanggil dengan sebutan ‘ibu’ oleh anak yang mereka lahirkan sendiri dan memanggil dengan sebutan ‘anak’ kepada anak kandung mereka sendiri. Apalagi ketika mengingat bahwa anak mereka tersebut bahkan dianggap memiliki pangkat yang lebih tinggi dari pada ibu mereka sendiri. Seorang ibu tidaklah dianggap seorang ibu lagi ketika sang ibu bukanlah ‘Raden Ayu’.
Anak yang sudah dapat berjalan akan menjalani upacara tedak siten. Upacara tersebut dilakukan untuk memperingati seorang anak yang mulai mampu berjalan di tanah Jawa untuk pertama kalinya.
Upacara tedak siten tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa masih mementingkan tradisi yang diwariskan turun temurun dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Mereka menjaga tradisi yang ada dengan baik agar tradisi tersebut tidaklah hilang dimakan waktu. Selain itu, memperlihatkan bagaimana mereka ingin mengingatkan kepada masyarakat setempat bahwa anak mereka ‘ada’ dan sudah mampu berjalan, yang menandakan bahwa hal itu adalah langkah pertama mereka menuju sesuatu yang lebih berarti lagi nantinya.
Sekolah menggunakan sistem sekolah orang Belanda (Eropa) yang sudah menggunakan meja. Seorang bupati akan memanggil guru ke rumah agar anaknya bisa belajar dan mendapatkan pendidikan yang layak. Ketika sedang belajar, seorang murid menggunakan sabak (terbuat dari batu) sebagai tempat menulis. Bila seseorang ingin menempuh sekolah lebih lanjut lagi (terutama ke Belanda), seseorang tersebut haruslah menguasai beberapa bahasa selain bahasa Belanda (bahasa yang dianggap sebagai bahasa pengetahuan di Indonesia saat itu), misalnya bahasa Perancis.
Mempelajari banyak bahasa merupakan hal yang baik karena itu berarti bahwa pendidikan telah diberikan secara matang dan pada kemudian hari akan berguna bagi mereka, sekalipun hanya didapatkan oleh kalangan atas. Penguasaan banyak bahasa oleh seseorang memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas (baik dalam bidang pengetahuan maupun kebudayaan) sehingga bisa memperoleh cara pandang yang lebih luas serta terbuka dan diharapkan bahwa mereka akan membawa pengetahuan tersebut untuk kebaikan bangsanya sendiri. Dengan diadaptasinya pendidikan dengan sistem bangsa Belanda, pendidikan bukan lagi hanya tertuju pada pembelajaran agama seperti yang terjadi pada masa sebelumnya (misalnya pesantren).
Buku-buku yang ada merupakan buatan orang-orang Belanda, sangatlah terbatas dan tidak boleh dibaca sembarangan.
Itu merupakan hal yang tidak adil karena buku yang ada hanya dibuat oleh orang Belanda. Namun, hal itu mendorong kaum pribumi yang bisa mendapatkan pendidikan secara layak untuk menguasai bahasa Belanda dan berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendidikan yang lebih dalam dan memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki dengan lebih baik lagi.
Bagi masyarakat setempat, kaum pria yang menikah lagi merupakan hal yang biasa. Kaum pria golongan atas, diajarkan cara mengeluarkan pendapat mereka di depan orang lain atau publik dan memiliki hak untuk memilih suatu hal.
Merupakan hal yang tidak adil terhadap kaum lawan jenisnya. Anggapan kaum pria lebih tinggi daripada kaum wanita sudah tertanam sejak dulu, sehingga mendorong masyarakat untuk berpendapat, bahkan hingga saat ini, bahwa pria lebih unggul daripada wanita dan mendorong kaum pria untuk memandang rendah terhadap kaum wanita yang ada.
Hal tersebut bertolak belakang dengan kehidupan kaum wanita. Kaum wanita tidaklah mempunyai pilihan dan hanya akan mendapatkan apa yang diperbolehkan untuk dirinya. Ketika seorang wanita sudah mengalami menstruasi, berarti mereka telah diperbolehkan untuk menikah dan ketika seorang wanita sudah menikah, hal tersebut dianggap mengurangi beban orang tuanya. Kaum wanita tidak memiliki banyak kesempatan seperti layaknya kaum pria, bisa dikatakan bahwa kaum wanita hanya bisa menangisi suatu hal.
Bila seorang anak perempuan dinikahkan, mereka memang akan mengurangi beban keluarga, namun, hal tersebut tidaklah adil bagi anak perempuan yang dinikahkan tersebut. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki keinginan untuk menentukan (memilih) suatu hal berdasarkan apa yang diinginkan oleh diri sendiri dan bila hal tersebut direbut (ditentukan) oleh orang lain, pastilah terasa berat untuk menjalaninya, sekalipun hal itu sudah merupakan tradisi dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Kesempatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita mendorong kaum wanita untuk hanya bersikap pasrah terhadap apapun yang terjadi pada dirinya, padahal pasrah dan hanya menangis bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah yang ada. Tradisi tersebut membuat kaum wanita bersikap pasif, yang bahkan masih bisa terlihat hingga masa ini.
Terdapat tradisi pingitan. Tradisi tersebut mengharuskan seorang anak perempuan yang sudah siap dinikahkan (sudah menstruasi) tinggal di dalam suatu ruangan dan hanya diperbolehkan untuk menemui kerabat dekatnya. Kemudian, dia akan tinggal disana hingga orang tuanya mendatangkan calon suami untuknya. Anak perempuan tersebut pada akhirnya akan menikahi orang yang dibawa oleh orang tuanya tersebut.
Tradisi ini merupakan tradisi yang bisa dikatakan konyol karena bertujuan agar tidak mengenal pria lain dan tidak adil (apalagi bila dipadankan dengan pria yang berumur jauh diatas anak perempuan yang dipingit). Perempuan tidak diberikan kesempatan untuk memilih, bahkan memilih untuk dirinya sendiri. Wanita dianggap tidak mampu dan diperlakukan sesuai dengan kehendak yang berada diatasnya (orang tuanya), padahal mereka bahkan belum memberikan kesempatan bagi anak perempuan tersebut untuk melakukan hal yang diinginkannya.
Rakyat yang banyak tertekan dan terbelakang tersebut serta situasi pada saat itu meragukan bahwa bisa bebas dari tekanan-tekanan yang ada. Sedangkan orang Belanda, mengumbar banyak janji namun sulit melihat gambaran kenyataannya.
Hal itu memperlihatkan kepada bangsa Indonesia bahwa bangsa Belanda (Eropa) sulitlah dipercaya karena hanya mengumbar janji. Namun, terlihat juga betapa bangsa Indonesia sangatlah mudah diperalat yaitu rakyat masih saja banyak yang mempercayai janji-janji yang dibuat, yang dimungkinkan karena keadaan yang tidak juga membaik dan adanya keinginan bahwa janji yang diumbar akan menghasilkan sesuatu yang nyata. Dari semua keadaan tersebut, rakyat ditanami suatu pikiran bahwa mereka terpenjara dalam lingkaran setan tak berujung dan mereka tidak dapat bebas lagi dari dalamnya. Keraguan rakyat tersebutlah yang mendorong sulitnya mereka terbebas dari keadaan yang ada.

GENDER DAN EMANSIPASI WANITA

Gender merupakan satu diantara sejumlah wacana kontemporer yang cukup menyita perhatian banyak kalangan, mulai remaja, kalangan aktivis pergerakan, akademisi dan mahasiswa hingga pemerintah dan agamawan.
Pada dasarnya gender merupakan suatu konsepsi barat tentang wanita yang dimasa lalu mempunyai kedudukan rendah. Wanita yang dikenal dengan feminismenya,pada masa lalu dianggap sebagai seorang yang hina. Feminisme berasal dari kata femina, kombinasi dari dua kata yaitu fe dan mina. Fe artinya iman dan mina atau minus artinya kurang, femina berarti kurangnya iman.
Jadi tidak heran jika pada masa lalu wanita banyak menjadi korban, bahkan pada lembaga formal, seperti inkuisisi Kristen di Barat. Karena konsep dasar tersebut meletakkan peran sosial wanita secara sekunder setelah laki-laki.
Konsepsi yang diskriminatif tersebut merendahkan martabat perempuan dan menghasilkan ketidak adilan terhadap perempuan. Berawal dari perbedaan jenis kelamin bergeser dan meluas menjadi pembedaan peran sosial.
Seperti halnya di Barat, di Indonesia pada masa lampau, dalam bidang sosial wanita merupakan kelompok termarginalkan, golongan kedua setelah pria. Di Indonesia dikenal istilah emansipasi wanita, sebuah gerakan sosial kaum permpuan untuk lepas dari kekangan pria dan disamakan kedudukan serta haknya dalam bidang sosial.
R.A Kartini salah satu tokoh yang dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita.  Gerakan emansipasi wanita telah berjasa besar dalam menghantarkan kaum wanita Indonesia menuju mimbar kehormatan dan keadilan. Realita ditengah-tengah kehidupan modern ini,  wanita tidak lagi dipandang sebelah mata, lebih dihargai dan dihormati. Dan saat ini, tak dapat dinapikkan telahbanyak kaum wanita dalam meniti karier, pendidikan bahkan jabatan melebihi kaum pria,  karena memang sudah menjadi tuntutan zaman.
Namun konsep emansipasi ada batasnya, karena memang pada dasarnya pria dan wanita itu berbeda. Poin utama dari emansipasi wanita ini adalah tidak merasa dibatasiuntuk melakukan kegiatan-kegiatan yang masih dalam batas kodrat kewanitaanya.
SOSOK - Alisssa Wahid Ogah Politik Pilih Sosial
Ditulis oleh Helen Simarmata, Brilyantini   
alt
SOSOK - Alisssa Wahid Ogah Politik Pilih Sosial

Lahir dari keluarga politikus tak membuat Alissa Wahid tertarik menggeluti bidang yang sama. Ia tetap terjun ke masyarakat, tapi di “jalurnya” sendiri, yaitu bidang sosial. Bagaimana sosok Alissa sebenarnya? Mengapa ia enggan mengikuti jejak sang ayah, KH. Abdurrahman Wahid? Simak ceritanya pada Brilyantini dan Helen Simarmata.
Saat bertemu Sekar beberapa saat lalu, Alissa Qatrunnada Wahid sedang sibuk mengoor­dinir bantuan untuk korban-korban bencana. Wanita yang akrab disapa Alissa ini memang memiliki kepeduli­an sosial yang sangat tinggi.  Totalitas dalam mengabdikan diri pada masyarakat, membuat ia “tega” memindahkan keempat anaknya dari rumah mereka di Yogyakarta ke Jakarta saat bencana Merapi terjadi. Tidak bertemu keempat buah hatinya adalah salah satu hal terberat yang harus Alissa lalui.

Anda termasuk orang yang sangat sibuk saat Merapi meletus. Apakah karena itu juga Anda memilih memindahkan anak-anak ke Jakarta?
  Ada beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi. Yang pasti, ini demi kebaikan anak-anak juga. Meski rumah kami di Yogyakarta jauh dari lokasi Merapi, getaran dan abunya sangat terasa. Tapi selain itu, dengan tidak adanya anak-anak, saya lebih leluasa bergerak memberikan bantuan ke daerah-daerah bencana. Rumah kami pun dijadikan posko relawan. Tidak mudah bagi saya berjauhan dengan anak-anak, tapi ini demi kebaik­an banyak orang.

Anda punya kepedulian sosial tinggi. Apakah terjun ke dunia sosial memang sudah menjadi pilihan sejak lama?
  Kalau untuk urusan sosial kemasyarakatan, saya memang peduli. Sangat peduli. Ada momen di masa lalu yang sangat berbekas dan menjadi penentu arah hidup saya.

Apa itu?
  Peristiwa itu terjadi saat saya kelas 1 SMA. Waktu pulang dari rumah nenek di daerah Matraman, Jakarta Pusat, ada anak yang minta-minta di lampu merah. Yenny yang dari dulu sudah politis dan kritis langsung protes ke Bapak. “Wah, ini melanggar Undang-undang Dasar. Seharusnya anak terlantar kan dipelihara negara. Kok, begini? Enggak bisa nih. Aku mau tulis surat di koran, ah.” Nah, waktu itu, saya ingat sekali komentar Bapak yang kurang lebih begini isinya: “Kamu masih kecil. Kalau kamu menulis, tidak akan bawa perubahan juga. Yang ada, jalan kamu nanti malah ditutup. Kalau mau bantu orang, lebih baik sekolah yang tinggi, setinggi-tingginya. Nanti pakai ilmunya untuk masyarakat.” Perkataan Bapak itu sangat mengena di hati saya. Sejak itu saya bertekad akan bekerja untuk masyarakat.

Apa yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut?
  Sejak kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, saya sudah aktif di LSM (lembaga swadaya masyarakat). Tahun 1999 saya dan beberapa teman sesama aktivis mendirikan LSM Sapa Persada Indonesia (SPI). Waktu itu belum banyak organisasi serupa. Hanya beberapa. Jadi kalau terjadi masalah nasional, seperti bencana alam di Papua atau di Banggai, Sulawesi Tengah, kami yang ramai-ramai mengoordinir bantuan. Saat itu peran masyarakat sudah ada, tapi tidak terlalu banyak. Belum sebanyak sekarang.

Pengalaman menarik selama ini?
  Wah, banyak sekali, ya. Di satu sisi saya senang karena kepedulian masyarakat semakin besar. Di sisi lain, hal itu juga jadi pikiran karena banyak orang yang sebenarnya belum kenal betul proses evakuasi. Selain itu, saya juga sedih melihat banyak lembaga yang proyekan. Belum lagi perusahaan yang memberikan bantuan semata-mata karena bagian dari program CSR (corporate social responsibilities). Saya kecewa, sangat kecewa. Akhirnya saya minta SPI berhenti dulu untuk me­ninjau ulang strategi kita sebagai lembaga kemanusiaan. Memikirkan lagi apakah yang dilakukan benar-benar sudah demi kepentingan pengungsi? Tapi yah, namanya lembaga sosial, kalau sudah vakum, suka keterusan. Jadinya sampai sekarang berhenti. Meski begitu, kalau ada bencana, teman-teman tetap bergerak cepat. Tanpa bendera sama sekali. Spontanitas saja.

Apa yang menjadi fokus utama Anda saat bencana?
  Yang pasti anak-anak. Mereka sering terlupakan dan sangat rentan terhadap dampak pengungsian. Karena itu saya juga mengadakan training pendampingan anak. Untuk pengumuman atau pencarian tenaga, biasanya saya memanfaatkan jejaring sosial Twitter.

Selain bidang sosial, apakah Anda tidak tertarik pada dunia politik seperti adik Anda, Yenny Wahid?
  Terjun ke dunia politik? Wah, enggak deh.

Lho, kenapa?
  Terus terang, meski hidup di tengah keluarga politisi, saya pribadi tidak memiliki minat sama sekali di bidang itu. Saya siap meneruskan pemikiran-pemikiran Bapak yang memang menurut saya benar dan perlu disebarkan. Tapi tidak terjun ke dunia politik aktif.

Akhir bulan ini Alissa dan keluarga akan mengadakan peringatan setahun wafatnya sang ayah, KH. Abdurrahman Wahid. Menyambut hari besar itu, banyak rencana yang ingin ia dan keluarga wujudkan.

Apakah ada acara khusus untuk memperingati setahun meninggalnya Gus Dur?
  Ya, saat ini memang keluarga sedang menyiapkan beberapa acara. Jauh sebelumnya, tepatnya sejak Bapak meninggal, kami mengadakan rembuk­an. Rembukan nasional-lah istilahnya. Kami membahas bagaimana cara untuk melanjutkan pemikiran Bapak.

Hasil rembukan itu?
  Kami menyadari bahwa anak biolo­gis Gus Dur memang empat orang. Tapi anak ideologisnya banyak sekali. Banyak orang terinspirasi pemikiran Bapak. Untuk itu, kami mengumpulkan teman-teman yang mengagumi pemikiran Bapak dan membantu mereka agar siap menjadi agent of change atau agen perubah­an yang akan meneruskan pemikiran Bapak. Ini seperti menjahit selendang perca.

Maksudnya selendang perca?
  Ya, itulah istilah yang kami gunakan di Ciganjur. Yang dimaksud dengan perca di sini adalah komunitas-komunitas pencinta Gus Dur atau orang-orang yang mau meneruskan pemi­kiran Gus Dur. Mereka akan tetap dibiarkan dengan warna dan kiprah­nya masing-masing yang kemudian akan kami satukan agar jadi selendang indah dan besar. Ini bukan pekerjaan mudah. Butuh tenaga dan usaha yang luar biasa, baik dalam mencari waktu untuk bertemu, maupun saat berdiskusi. Bagaimana pun masing-masing pihak punya pikiran berbeda.

Anda melakukan ini bersama adik-adik?
  Ya, kami semua. Namun, karena saat Bapak meninggal, Yenny dan Anita sama-sama lagi hamil, yang bisa lari ke sana ke mari saya dan si bungsu Ina. Kami berdua yang lebih banyak bertemu dengan para Gusdurian ini.

Bagaimana respons suami terhadap kesibukan Anda, terutama di bidang sosial kemasyarakatan?
  Dia sangat mendukung. Dulu suami komandannya LSM SPI. Karena sesama aktivis, dia sangat mengerti setiap langkah saya.

Wah,  Anda berdua kompak sekali, ya?
  Alhamdulillah. Tapi ini setelah melewati proses panjang, lho. Tidak mudah menemukan keselarasan.

Ceritakan dong kisah pertemuan Anda dengan suami.
  Kami bertemu pertama kali tahun 1991. Setelah enam tahun pacaran, tepatnya di tahun 1997, dia melamar. Tadinya kami berencana menikah tahun 1998, tapi karena Bapak terkena stroke, akhirnya rencana itu diundur ke tahun 1999. Meski lama pacaran, di awal pernikahan kami sering bentrok. Kami berdua memang sangat berbeda. Tapi justru perbedaan itu yang menyeimbangkan.

Apakah ada konsep rumah tangga yang Anda contoh dari orang tua?
  Kesetaraan! Ayah dan ibu saya adalah orang yang sama-sama kuat dan punya passion sendiri. Tapi Bapak bukan penganut patriarkat. Tidak pernah dia mengharuskan Ibu begini begitu hanya karena statusnya sebagai istri.

Bagaimana pola didik Anda ke anak-anak?
  Saya juga selalu menanamkan nilai kesetaraan. Selain itu, saya juga membiasakan mereka menghadapi dan menerima perbedaan.

Sampai saat ini Alissa mantap berdomisili di Yogyakarta. Dia sangat menikmati setiap lekuk kota itu dengan segala ketenangannya. Alissa mengaku belum tertarik sama sekali pindah ke Jakarta.

Apa saja aktivitas Anda sehari-hari?
  Saya banyak menghabiskan waktu untuk keluarga dan kegiatan sosial. Selain itu, saya juga menjalankan perusahaan keluarga yang bergerak di bidang perumahan. Saya juga mengelola sekolah, yaitu Fastrack Funschool (playgroup dan TK). Dari dulu saya merasa tidak cocok bekerja kantoran.  Gimana mau kerja kantoran kalau otaknya baru bisa jalan di malam hari? (tertawa).

Bagaimana hubungan Anda dengan adik-adik?
  Seru! Alhamdulillah. Buat kami, keluarga adalah prioritas utama. Kami saling menghargai. Saya tidak selalu setuju dengan apa yang dilakukan Yenny, tapi saya tetap menghormati apapun keputusannya. Begitu juga dia. Di Ciganjur, saya bertanggung jawab atas urusan “dapur”. Intinya, saya meng­urus masalah keuangan dan manajemen. Bagaimana cara menjalankan bisnis keluarga atau memilih investasi ada di tangan saya. Adik-adik boleh saja memberi masukan, tapi tetap saya yang mengambil keputusan dan mereka akan menghargai itu.

Sering curhat-curhatan?
  Sering banget. Kadang Yenny minta ketemu sama saya, Anita dan Ina untuk curhat soal politik, nasib PKB Gus Dur, dan lain-lain. Yenny tahu kami tidak akan terlibat, tapi dia tetap butuh ngobrol dengan kami, orang-orang yang dipercaya dan tidak punya kepentingan di situ.

Pernah berantem juga?
  Pastinya! (tertawa) Kalau ngobrol soal politik, saya dan Yenni bisa berantem sampai nangis-nangisan. Ada saatnya saya benar-benar tidak bisa memahami pikiran dia. Tapi perbedaan pendapat itu sama sekali tidak mengganggu hubungan persaudaraan. Kedudukan kami juga bisa dibilang setara. Tidak ada yang namanya si Sulung atau si Bungsu. Semua ditanggung bersama.

Terakhir, apa harapan Anda?
  Banyak sekali. Dalam hal pribadi, saya berharap anak-anak bisa tumbuh dengan baik dan keluarga juga selalu kompak. Selain itu, saya sangat mengharapkan jaringan Gusdurian bisa terbentuk, menyatu dan mampu membawa kebaikan bagi seluruh bangsa Indonesia tercinta.